Sekitar lima tahun lalu, ketika saya
memutuskan untuk aktif di sebuah organisasi intra sekolah yang kegiatannya
berbasis jurnalistik, saya mendapatkan suatu penanaman paham bahwa seorang
jurnalis mendedikasikan hidup bagi kebenaran. Kalimat itu berdengung di tiap proses saya mencari, mengolah dan menerbitkan
laporan berita, sampai suatu ketika pada titik tertentu saya diminta untuk
berhenti menuliskan berita, menyajikan kebenaran demi kepentingan satu pihak.
Saat itu, karena saya
belum cukup kuat memahami falsafah hidup pers, dan jujur tidak cukup berani
untuk ‘mati’ demi sebuah kebenaran. Pertanyaan – pertanyaan mengapa tidak boleh
menuliskan kebenaran, kenapa kebenaran dibiarkan tak terungkap, dan sebagainya
hanya tertelan begitu saja. Proses saya sebagai jurnalis di bangku sekolah
akhirnya tidak lebih sebagai seorang juru tulis yang paham penulisan berita 5W
+ 1H. Sementara kalimat ‘jurnalis mendedikasikan hidup bagi kebenaran’, berakhir
sebagai slogan semata.
Tapi seiring waktu, ada
suatu hal yang membuat saya terusik untuk mencari tahu lebih dalam mengenai
pers. Hingga pada akhirnya mengantarkan saya untuk berjibaku kembali dalam dunia
jurnalistik saat kuliah. Dengan kacamata mahasiswa, saya tahu bahwa ada batasan
antara pers dengan humas-sesuatu yang tidak saya ketahui ketika SMA, bahwa sangat
berbeda, ketika humas berusaha untuk menyajikan berita – berita untuk membentuk
citra positif sedangkan pers bertahan secara konsisten untuk menuliskan berita
berdasarkan fakta tanpa tendensi apapun.
Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata pada sejarah pers Indonesia. Pada zaman
orde baru puluhan tahun lalu secara
nyata pers pernah tunduk pada kekuasaan pemerintah. Seperti yang tertuang dalam
sebuah teori pers kuno Authoritarian Theory (Teori Pers Otoriter). Pers
hanya boleh menulis berita atas izin pemerintah, dan segala kegiatan pers
diawasi oleh pemerintah. Namun segera disadari, pers tidak seharusnya dijadikan
alat pemerintah, melainkan sebagai mitra pemerintah dalam menguak sebuah kebenaran.
Hal itu kemudian melahirkan sebuah teori tandingan yakni Libertarian Theory (Teori
Pers Bebas). Posisi pers dalam teori ini adalah sebagai pengawas kebijakan
pemerintah.
Sayangnya, kebebasan
pers dalam menyajikan berita tidak memberi banyak koreksi pada kebijakan
pemerintah serta lebih membebaskan penguasa modal untuk memanfaatkan pers demi
kepentingan ekonomi dan politik. Sehingga muncul dua teori baru yang dirasa
lebih relevan untuk keberadaan pers di masyarakat, yaitu; Social Responsibility
Theory (Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial) dan Soviet Communist Theory
(Teori Pers Komunis Soviet). Pada teori pers bertanggung jawab sosial,
pemberitaan yang dilakukan haruslah memperhatikan kepentingan masyarakat bukan
pemerintah maupun pemilik modal, dan yang terpenting adalah berpegang pada
etika – etika pers. Sementara teori pers komunis soviet memiliki satu hal yang menarik
dan penting dimiliki oleh media serta tidak ditawarkan oleh teori – teori lain
yakni penomorduaan topik. Intinya pers tidak lagi berorientasi pada apa yang
sedang ramai dibicarakan.
***
Dalam ‘kostum’ pers
mahasiswa, saya juga masih tetap menyimpan kalimat ‘jurnalisme mendedikasikan
hidup bagi kebenaran’. Tapi pertanyaan tentang mengapa kebenaran itu sengaja disembunyikan
tidak pernah lagi muncul. Besar karena saya pun mulai sedikit belajar dari
filsafat. Tidak ada sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran, karena
sesungguhnya itu semua relatif. Dan hal tersebut pada akhirnya mengubah
pertanyaan saya menjadi kebenaran yang seperti apa yang patut dibela dan
dihadirkan oleh seorang jurnalis.
Titik terang menuju
jawaban dari pertanyaan itu secara perlahan mulai muncul lewat sebuah buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism. Kebenaran bagi jurnalisme bukanlah
kebenaran filosofis, melainkan kebenaran fungsional. Arti dari kebenaran
fungsional yakni kebenaran yang terus dibangun, tidak bersifat mutlak. Sehingga
kebenaran itu senantiasa terus mengalami perubahan sesuai dengan realita dan
fakta yang ada.
Dua orang wartawan
amerika tersebut juga berhasil merumuskan sembilan elemen jurnalis yang sudah
selayaknya dimiliki setiap insan pers. Dari kesembilan elemen itu ada satu
elemen yang menjadi perhatian penting saya, yakni independensi. Ini yang
membuat seorang jurnalis harus meletakkan segala identitas dan latar
belakangnya dalam tulisan – tulisan beritanya. Tidak boleh ada unsur agama,
ras, gender, dan hal – hal lain yang bersifat personal masuk dalam laporan
berita yang ditulis.
Bahkan jika salah satu
keluarga seorang wartawan terlibat dalam satu kasus, ia harus tetap menuliskan
fakta dari kasus tersebut secara jujur. Menuliskan kebenaran itu sepahit apapun
dan sesakit apapun. Ini mungkin yang menjadi salah satu alasan timbul kalimat, wartawan
tidak mencari teman juga tidak mencari musuh.
September, 2015
Salam rindu untuk
pembimbing jurnalis pertama saya, Pak Jur/Pak Rosihan.
menjadi juralis bukan hal yang mudah. ada beban besar yang dipikul pada pundak para jurnalis. jurnalis bukanlah hanya soal menguasai teori dan keterampilan praktis akan tetapi juga soal hati nurani. menjadi jurnalis tanpa landasan integritas hanya akan menjadikan kita sebagai kuli tinta atau yang kini juga layak dikenal sebagai budak-budak media.
BalasHapushahaha, rupanya menjadi jurnalis juga tidak lebih mudah dari menjadi anggota CIA.
Hapus