Langsung ke konten utama

JURNALIS; ANTARA MESIN DAN MALAIKAT

Di tengah kegamangan berproses menemukan ritme sebagai pewarta, saya dibawa bertemu dengan seseorang sore itu. Salah satu jurnalis di sebuah media swasta yang berakusisi dengan media Amerika, CNN. Tidak disangka – sangka pertemuan yang awalnya dijadwalkan untuk memenuhi tugas mata kuliah etika jurnalistik, berbuah menjadi satu titik penegasan bagi saya untuk tidak berhenti dan meninggalkan proses belajar sebagai seorang insan pers.

Jungkir balik liputan demi liputan yang saya lalui selama ini memberikan pemahaman praktis bahwa basic menjadi seorang jurnalis memang skeptic dan curiosity, tapi laku seorang jurnalis dalam menyajikan berita tidak cukup itu. Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, jurnalis punya etik – etik tertentu untuk melindungi hak – hak publik. Itu yang seringkali masih banyak diabaikan oleh jurnalis negeri ini. Untuk itu, di tempat saya ditempa, mata kuliah etika jurnalistik menjadi satu keharusan dipahami dan diaplikasikan, demi eksistensi pers yang lebih sehat-idealis dan independen.

Lalu, salah satu tugas etika jurnalistik ini menjadi satu keberuntungan, sebab dari situ saya dipertemukan dengan beberapa jurnalis negeri ini yang ternyata cukup idealis, idealis dan sangat idealis. Andreas Wicaksono yang saya temui sore itu mungkin bagi saya masuk dalam kategori terakhir. Di tengah keraguan yang semakin membesar akan masa depan dari proses yang selama ini saya lalui, pertemuan singkat dengan Andreas, seakan menjadi titik balik semua kegelisahan.

Untuk pertama kalinya Andreas membuka dengan satu kalimat yang cukup dalam, “Pada dasarnya jurnalistik bukan budaya orang timur, melainkan budayanya orang barat.” Dan seolah itu menjadi dalih pembenaran secara tidak langsung bagi pelanggaran – pelanggaran etika dalam dunia jurnalistik. Andreas pun mulai membeberkan berbagai pengalamannya selama menjadi seorang jurnalis sejak lulus dari Universitas Widya Mandala. Pertama kali ia mengawali di sebuah media cetak lokal bernama Harian Bhirawa, hanya beberapa hari. Lalu ia pindah ke sebuah media mainstream tingkat Nasional, RCTI yang kini bertransformasi sebagai salah satu media group besar di Indonesia bernama MNC Group.

Andreas kemudian mulai berbicara perihal independensi media. Bahwa idealnya sebagai seorang jurnalis kita tidak boleh terikat pada kepentingan apapun, kepentingan pribadi, kepentingan bos, maupun kepentingan pengiklan. Ruang redaksi sepenuhnya harus dibebaskan dari ketiga hal tersebut. Ini tentu saja nantinya sangat berkaitan dengan penyajian laporan berita kita. Kebenaran yang dibeberkan dalam laporan tersebut haruslah objektif dan sesuai dengan data – data yang ada, tidak ditambahi maupun dikurangi. Tak dipungkiri saat bekerja di kantor media Nasional tersebut Andreas merasakan keterusikan.

Suatu ketika, Andreas merasakan kekesalan yang amat besar ketika diharuskan membuat liputan tentang kehidupan pribadi seorang selebriti. Beberapa kali ia mendapat tugas untuk memberitakan perceraian. Ini tentu konyol sekali bagi seorang jurnalis yang sangat memegang prinsip – prinsip jurnalistik. Bagi Andreas yang juga merupakan anggota dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hal itu sangat bertentangan dengan prinsip jurnalistik, dimana tidak sepatutnya pemberitaan seorang jurnalis berkaitan dengan hal – hal yang bersifat sangat pribadi. Saat itu, langkah yang diambil Andreas cukup membuat saya merinding. Untuk mempertahankan idealisme jurnalis yang ia pupuk dari organisasi profesi AJI, ia memutuskan resign dari media tersebut.

Rehat sebagai seorang jurnalis, ia bekerja di sebuah restoran yang berada di kawasan Hr. Muhammad. Posisinya saat itu adalah public relation.  Meski demikian, seperti jurnalis telah mendarah dalam dirinya. Ada momen tercipta yang mengharuskan ia kembali berhadapan dengan rekan – rekan wartawan, yakni suatu konferensi pers dari acara restoran tempat ia bekerja. Pemilik restoran itu mengundang para awak wartawan untuk meliput acara restoran dengan iming – iming uang awalnya, namun saat berdiskusi perihal rencananya tersebut dengan seketika Andreas menolak tegas langkah itu.

No money for news, istilah ini saya berikan sendiri untuk menggambarkan hal itu. Dalam keterangan Andreas profesi wartawan bukanlah serendah itu. Ketika seorang jurnalis berani menerima ‘amplop’ saat liputan, maka ia sama saja telah menjual harga dirinya sendiri. Narasumber akan menganggap diri wartawan itu mudah dikendalikan. Isi kepala dan tulisannya sangat mungkin dipengaruhi. Andreas adalah orang yang sangat sensitif perihal ‘amplop bagi wartawan’ dan prinsipnya sangat tegas menolak hal itu. Ketika ia masih menjadi wartawan, tak ayal ia sering dibenci rekan seprofesinya saat menolak amplop secara terang – terangan di depan teman – teman awak media lain yang menerimanya. Bahkan saat ia bekerja sebagai public relation pun prinsip itu tetap ia pegang teguh.

Poin penting selanjutnya yang saya dapatkan dari perbicangan sore itu, bahwa sekalipun seorang jurnalis professional adalah mereka yang selalu memegang etika dalam melakukan proses pencarian dan penyajian berita, namun sejatinya mereka tetaplah seorang manusia. Mereka bukanlah mesin, dan mereka memiliki hati nurani. Maka, setiap kali ia melakukan proses peliputan, satu hal yang ia juga perhatikan sebagai seorang video journalists (cameramen) CNN-saat ini, ia harus selalu menghormati hak dan privasi narasumbernya. Misalkan saat mengambil gambar seorang korban perkosaan, tidak pernah ia mengeksploitasi seputar wajah korban. Dan setiap kali ia hendak mengambil gambar demi kepentingan liputannya meminta izin adalah harga penting bahkan harga mati. Memanusiakan manusia dalam setiap langkahnya, itu usaha yang harus ditanamkan pada jiwa tiap jurnalis.

Sebagai contoh lain dari usaha ini adalah jika ada suatu kasus kecelakaan, wartawan di lokasi tentu secara sadar memiliki insting profesi yang kuat untuk meliputnya. Seharusnya. Namun sebagai seorang manusia, humanism tentu lebih menguasai, sehingga selayaknya diputuskan untuk menolong korban terlebih dahulu. Bukan berarti hal ini bentuk dari ketidak professionalan, justru saat itu menunjukkan bahwa si wartawan tetaplah seorang yang bernurani. Karena jurnalis bukan mesin. Sementara itu tak abai pula dengan tugas liputannya, wartawan tersebut setelahnya bisa memutuskan untuk menelepon redakturnya dan menceritakan kronologi peristiwa serta sikap yang telah ia ambil. Saat redakturnya memaklumi hal tersebut, itu membuktikan bahwa sekali lagi jurnalis bukan mesin. Dan jika memang tetap diharuskan untuk meliput peristiwa itu pun selayaknya jurnalis tersebut menolong korban terlebih dahulu, baru kemudian melakukan penggalian data di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sampai mewawancarai sanak keluarga korban setelah proses penanganan medis terhadap korban diutamakan.  
Pesan lain dari poin ini juga tergambar dari setiap usaha yang dilakukan wartawan saat memperjuangkan hak – hak berbicara masyarakat tertindas. Misalkan kaum pengungsi, buruh, dan jenis orang – orang tertindas lainnya. Semangat ini sesuai dengan poin ketiga kode etik AJI yang berbunyi :
Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.

Yang terakhir dan penting pula dari apa yang disampaikan Andreas adalah  untuk senantiasa menghargai hak cipta. Agar tidak ada pengutipan sumber yang serampangan hingga berujung plagiarism.


Sebenarnya ada banyak sekali yang harusnya saya tuliskan dalam laporan ini, tetapi mungkin apa yang saya tuliskan tersebut adalah yang paling mewakili setiap pertanyaan yang masih menghantui saya. Dan hal – hal itulah yang sampai sekarang sering saya pikirkan ketika berhenti di tiap lampu merah saat saya berkendara.  

Laporan ini tentu saja saya dedikasikan untuk Ibu Dosen saya, Marta Nurfaidah. Dan kedua untuk Andreas Wicaksono, jurnalis idealis yang sudi berbagi pengalamannya. Terlalu banyak kekurangan yang sudah saya tuliskan. Maafkan kekurang ajaran saya ini.  


Terakhir dedikasinya untuk kedua teman saya Uin Mashurin dan Solmisah yang rela pusing – pusing bersama mempersiapkan outline wawancara.



                                                                                           Surabaya, 21 Juni 2016
                                                                                           1:43
                                                                                           Zur’ah Budiarti 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magang dan Kenikmatan Paradoksal Wartawan

Sore dan sinar senja yang hangat adalah latar bagaimana karir magang saya sebagai wartawan harian pagi berakhir indah, dan damai. Saya punya tiga orang partner kerja yang luar biasa. Dua mentor khusus yang meski dalam pengajarannya sungguh bertolak belakang, tapi sangat berkontribusi mempertegas ritme kerja wartawan yang harus saya pahami dan lakoni. Masih terputar jelas dalam ingatan, sore – sore pertama kali kami datang di kantor redaksi. Pimpinan umumnya perempuan, cerdas, ramah, tidak suka basa – basi. Keesokan harinya kami segera diperkenalkan dengan pimpinan redaksi, redaktur, dan manajer ekonomi bisnis. Perkenalan khas orang – orang media, ringkas. Sebab setelahnya yang lebih penting. Pengaturan desk kerja, saya dan dua orang lainnya diletakkan pada posisi reporter untuk area liputan kota dan pemerintahan serta ekonomi bisnis. Sementara seorang lain ditempatkan sebagai pengelola naskah berita online. Di kursi sofa panjang berwarna biru, kami berempat duduk sal

Kisah di Balik Kisah yang Diterbitkan

  Tanpa kesempurnaan naskah ini bisa terlahir, Kalimat itu menjadi penanda dan saya letakkan di halaman pembuka Novel SEMU, novel pertama yang saya terbitkan. Seperti maknanya secara tekstual, saya ingin mencitrakan bahwa untuk menghasilkan sesuatu, kita tidak selalu butuh sederet konsepsi rumit dan indah, atau hal – hal yang lebih mengotakkan kesempurnaan. Secara pribadi, saya memang tidak memungkiri pernah ada di titik dimana saya lebih banyak menghabiskan hari dengan menulis rencana, rencana, dan rencana. Atau target, tujuan, target, tujuan. Tulisan – tulisan yang tidak membawa saya melangkah kemanapun. Sampai pada akhirnya, saya berhenti dan merubah kebiasaan di masa lalu. Sesederhana itu, saya merasa melakukan apa yang pernah dituliskan Paulo Coelho di salah satu bukunya. Kurang lebih seperti ini yang saya pahami; “Sangat penting untuk membiarkan hal - hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan. Orang perlu mengerti bahwa hidup ini tidak pasti; kadang - kadan