gambar : google |
Everyone
believe that media has a big strength, although it’s difficult to decide what
kind of the strength. Actually the principal strength of media that must be known
is based on the fact which declares that media can build opinion about all events
that happened in the world. Media also has an influence for the concept or idea
and measure of the people. As we know that there are two kinds of media. They
are print media and digital media.
Print
media begin in about 1690 signed with some newspaper in North America. But,
Chinese has found paper as a media to communicate on 105 M. Dalam
perkembangannya kemudian, media cetak mengalami proses yang cukup lambat hingga
tahun 1800-an. Namun, pengaruhnya tidak bisa dipungkiri sangat besar terhadap peradaban
manusia. Berbagai peristiwa bersejarah tak lepas dari pengaruh media cetak.
The Second World War in 1939 used print media as a medium of propaganda.
Many Countries that carry out of it use some newspaper or pamphlet to persuade
the companions and the rivals. And it’ll be more effective ketika pada
akhirnya banyak pihak yang mengusung perdamaian karena terpengaruh konten dalam
media cetak tersebut. Then, tahun 1990-an terjadi revolusi teknologi komunikasi.
Revolusi teknologi komunikasi ini menghadirkan peran internet sebagai media
baru yaitu media digital untuk mendampingi eksistensi media cetak sebelumnya.
Namun, belakangan penggunaan media baru yaitu media digital oleh
masyarakat, dianggap telah mengancam eksistensi media cetak. Lalu hal itu
semakin diperparah dengan peristiwa bangkrutnya industri media cetak negara
adikuasa Amerika. Beberapa koran dan majalah Amerika Serikat yang harus gulung
tikar tersebut antara lain The New York Times, Newsweek, The Rocky Mountain
News, The Seattle Post Intelligencer, and Lee Enterprises.
Tapi benarkah runtuhnya media cetak Amerika Serikat tersebut memastikan
jatuhnya era cetak di dunia yang disebabkan oleh digital media? Dan mampukah era
digital menghapus era cetak dengan sebegitu mudahnya lalu mengakomodir segala fungsi
dan kelebihan media cetak sebelumnya?
Bankruptcy
print industry in the United States can’t generalize as death-print era in the
world.
Can
print media survive till ten or twenty years later? That sucks question is
always spoken on every discussion which celebrated by journalists, and owners
of the industrial media. Even, they haven’t an accuracy answer but they try to guess
the condition. Seperti, Bill Gates,
pernah meramalkan jika pada tahun 2000, media cetak akan mati. Nyatanya ramalan
tersebut tidak terbukti karena sampai sekarang media cetak masih terus
bertahan.
Rupanya
dalam hal ini, tidak semua hal mampu diprediksi jika kita mencermati kasus
pandangan Bill Gates terhadap masa depan media cetak. Untuk itu pertanyaan –
pertanyaan mengenai masa depan era cetak yang dijawab dengan penuh kepastian
bahwa pada akhirnya era cetak akan berakhir bisa dibilang terlalu dini atau
terburu – buru. Apalagi mengingat bahwa sebagian besar jawaban tersebut dipengaruhi
oleh kondisi yang menimpa media cetak Amerika saja, tanpa mau melihat pada
eksistensi media – media di negara lain.
Sejatinya,
permasalahan media Amerika tidak bisa secara langsung digeneralisasikan sebagai
masalah krusial yang juga dihadapi seluruh media cetak di dunia. Tetapi ada
baiknya jika para pelaku industri media cetak di negara lain tetap mengambil
sebuah pelajaran atas kebangkrutan media cetak Amerika tersebut. Untuk semakin
meningkatkan dan mempertahankan eksistensi karya cetak. Kemudian, pada akhirnya
hal tersebut banyak melahirkan diskusi – diskusi. Salah satunya pernah
dituliskan oleh Amir
Effendi Siregar, Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dan
diterbitkan di Koran Kompas edisi Sabtu, 5 September 2009.
Isi dari kolom yang dituliskan oleh Siregar tersebut yaitu, tanggal 14
Juli 2009, SPS menggelar diskusi bertopik ‘Belajar dari Kebangkrutan Koran-
koran di Amerika Serikat’ yang menghadirkan beberapa pimpinan media. Menurut
salah satu pembicara, koran di Amerika Serikat yang bangkrut tersebut yakni
koran yang menggunakan modal publik lalu menghadapi masalah biaya, utang,
pajak, dan penurunan pendapatan iklan sekitar 20 persen. Pendapatan dari
sirkulasi koran juga turun meski tiras masih cukup tinggi (ratusan ribu). Sementara
itu, di Eropa banyak perusahaan media mampu bertahan bahkan sukses. Ini, antara
lain disebabkan pendapatan sirkulasi yang relatif stabil.
Pembicara lain menambahkan, sejumlah perusahaan penerbitan yang bangkrut
merupakan perusahaan publik yang tiap tahun harus tumbuh untuk meningkatkan
harga saham, mengambil alih banyak perusahaan yang menyebabkan pembengkakan
biaya dan utang. Lantas dari berbagai pendapat tersebut, akhirnya bisa
dikonstruksikan bahwa penyebab dari berakhirnya media cetak Amerika adalah krisis keuangan. Hingga
kini, jumlah pembaca media cetak masih cukup tinggi karena itu kebangkrutan
perusahaan media bukan disebabkan kekurangan pembaca, tetapi krisis keuangan
dalam sebuah sistem dan pasar keuangan yang salah.
Sistem dan pasar keuangan di Amerika Serikat yang kontrol dan regulasinya
lemah mengakibatkan banyak perusahaan tutup. Inilah yang antara lain,
menyebabkan pendapatan iklan media turun, berakibat kebangkrutan banyak
perusahaan di Amerika Serikat, termasuk perusahaan penerbitan. Dan itu lebih
disebabkan krisis keuangan global dan kapitalisme (neoliberal). Beberapa
perusahaan besar, termasuk media cetak, lebih banyak memperdagangkan saham,
uang, dan memperdagangkan perusahaan. Perusahaan media cetak tidak lagi
memperdagangkan surat kabar dan ruang (space) media, tetapi
memperdagangkan saham, melakukan akuisisi, jual beli perusahaan dan harapan.
Semua itu menyebabkan pembengkakan pada keuangan perusahaan. Menjadikan
biaya rutin dan utang kian besar hingga berdampak kebangkrutan. Sedangkan di
Eropa Barat, perusahaan media cetak relatif bisa bertahan dan banyak yang
sukses karena pasar keuangannya terkontrol. Selain itu, media cetak tetap
memusatkan kegiatan bisnis pada jual beli media cetak, termasuk ruang untuk
iklan. Dan di Indonesia sendiri, rupanya menunjukkan geliat pertumbuhan media
cetak. Signed with many kinds of local media (a media which publish all
about local facts) that arisen. Ada setidaknya 952 media cetak di Indonesia yang telah lulus verifikasi Dewan Pers. And
from 952 media cetak tersebut, 323 lainnya merupakan media nasional. Itu
artinya, ada 629 media cetak yang bisa digolongkan sebagai media lokal.
It’ll be hard to kill print media with new ‘weapon’
called digital media.
Digital media as a new media may have
a special place to influence the people. Then, it’s more developing when
digital media give many facilities to become an easier form and helping human
works. The facilities are fast, cheap, and free which can’t be given by
conventional media or print media. So, there are many changes of what people do
and read in some regions. And it’s going to be a big problem with a big
apprehensive about the future of print media.
Tetapi ancaman – ancaman bagi media
cetak tersebut secara tidak langsung dapat dibunuh ketika melihat bahwa tidak
semudah itu untuk menghilangkan sebuah era. Kebudayaan, dan berbagai sistem
(sosial, politik, ekonomi) telah melebur di dalam satu era yang akhirnya menguatkan
keberadaan era tersebut. Till now, print media still exist in some countries
that having big internet users. Internet World Stats in 2008
counts that on Singapura there are 67,8 percent internet users, Jepang 73,8
percent, Jerman 67 percent, Denmark 80,4 percent, Belanda 82,9 percent. But, on
those countries the people still read print media, and the bookstores showed
that many people still come and buy their collection. Media cetak tetap
dibaca di banyak tempat dan waktu.
Membaca media cetak sudah menjadi
kebudayaan yang tidak mudah diganti begitu saja. Kita tidak dapat mempertentangkan
teknologi dengan internet sebagai musuh media cetak, karena cara berpikir
seperti itu akan menjadi ahistoris ataupun akultural. Jika itu terjadi, yang
satu akan membunuh yang lain, akan terjadi diskontinuitas budaya, kebudayaan
yang satu akan melenyapkan kebudayaan yang lain. And the thing is never
happened!
Digital media may have actual but print media always
be a winner with the depth reporting.
Mengkompetisikan antara media cetak dan digital
artinya harus mengetahui dimana letak keunggulan masing – masing. Jika kecepatan
tidak bisa dipungkiri menjadi keunggulan media digital namun jangan lupakan
bahwa media cetak adalah raja bagi liputan – liputan mendalam dan penuh
analisis. Sebenarnya, dalam hal ini keunggulan masing – masing tidak bisa
dijadikan alat untuk menghilangkan salah satu pihak.
So,
when it must be compare between print media and digital media. And using the
result to kill one of them, it’s really hard and I supposed that it won’t
happen. But, just for to know which one of the media can bring the complete news,
I prefer to read print media. Media cetak memiliki keleluasaan untuk
memberitakan secara mendalam dan penuh analisis dengan pertimbangan waktu yang
matang. Berbeda dengan media digital yang dituntut untuk terus menggulirkan
fakta ke khalayak umum secara cepat bahkan dalam hitungan menit.
Akhirnya,
secara kualitas pemberitaan pun, media cetak memiliki nilai sepuluh kali lipat
lebih bagus dibandingkan dengan media digital. Ukuran bagus disini adalah
pemberitaan yang disajikan oleh media cetak jelas kredibel, dapat dipertanggung
jawabkan serta mampu menjawab alasan – alasan dari peristiwa yang diungkap.
Seperti misalkan peristiwa konflik Aceh, perbedaan mencolok dari pemberitaan
yang dimuat antara media cetak dan digital sangat terlihat.
On
that situation, digital media prefers to show about the chronology of that
conflict. And the cause of the conflict doesn’t mention on their reporting. They
inform people with straight news, but print media has depth news to inform the
people. They found how is important to share the reasons of the conflict and
some events which following it. Lebih dari itu, keunggulan lain yakni
terletak pada bentuk penyajian berita. Di media cetak bentuk penyajian berita semakin
beragam ketika masuk sebuah gaya penulisan berita jurnalisme sastrawi. Genre
ini sebenarnya sudah dikenalkan di Amerika pada 1960-an oleh wartawan Amerika,
Tom Wolfe.
Hingga kini,
gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media Amerika seperti The New
Yorker, Atlantic Monthly, dan Harper's. Jurnalisme sastrawi
sejatinya adalah sebuah gaya penulisan yang membungkus berita berat dan
mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail.
Meskipun memakai kata sastrawi dan narasi, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang
menyucikan fakta.
Dalam hal
ini, jurnalisme sastrawi memang membutuhkan deskripsi yang kuat. Deskripsi di
sini bukan berarti harus mendayu-dayu, tapi deskripsi yang memang mendukung
cerita supaya cerita lebih hidup. Tapi bukan cuma deskripsi, jurnalisme
sastrawi juga memerlukan apa yang sebuah karangan sastra perlukan, seperti
penokohan, kronologis, alur yang kuat, konflik dan antiklimaks serta akhir yang
memikat.
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah
salah satu contoh tulisan yang dikemas dengan gaya penulisan sastrawi. Tulisan
ini dimuat pada buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada
tahun 2005 dan cetakan keduanya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada
tahun 2008.
Jadi, pada akhirnya masyarakat akan
diberikan sebuah pilihan untuk menggali fakta dari kedua media tersebut. Mereka
yang hanya ingin segera memuaskan keingintahuan tanpa perlu melihat pentingnya
fakta – fakta lain yang ada di balik sebuah peristiwa itu, akan membaca media
digital. Namun mereka – mereka yang dengan cerdas mempertimbangkan kebenaran
berita, dan news value akan memilih media cetak.
Keuntungan tambahan bagi pembaca media
cetak yaitu, pengetahuan mengenai suatu disiplin ilmu yang mewarnai
pemberitaannya. Seperti jurnalistik dan sastra yang disinergikan sampai menjadi
jurnalisme sastrawi. So, don’t be afraid to against issues which talked
about the end of print media. I trust that print media
isn’t ever miss their smart readers!
‘Bacalah tulisan yang dapat dibuktikan
kebenarannya, bukan yang diyakini benar’.
Kemudahan
dalam memperoleh sebuah berita dan melakukan aktivitas komunikasi ditengarai terjadi
karena lahirnya media baru yaitu media digital. Namun, hal tersebut akhirnya
juga menghadirkan sebuah konsekuensi. Yakni perubahan dalam hal esensi berita
yang lebih difokuskan pada kecepatan dalam penyajiannya, bukan pada kebenaran
berita yang disampaikan. Padahal sebuah analogi dalam hukum fisika menyebutkan
bahwa makin sedikit waktu yang diperoleh untuk memproduksi berita maka semakin
banyak pula kesalahannya.
Selain itu, Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel mengemukakan dalam bukunya Blur : How to Know What’s True In The
Era of Information Overload bahwa di era banjir iformasi akibat perkembangan
media digital, sulit membedakan antara berita dan opini. Pembaca pun sering
terjebak dengan pemberitaan – pemberitaan yang berbentuk propaganda, rumor dan
desas – desus. Tidak teraturnya substansi berita tersebut karena dalam proses
pembuatannya lebih mengedepankan kecepatan dibandingkan dengan keakuratan. Ditambah
permasalahan lainnya yang juga mempengaruhi hal tersebut seperti, ketersediaan
ruang pemberitaan secara bebas. Jadi media digital akhirnya melahirkan sebuah
jenis jurnalistik baru yang dinamakan jurnalistik warga (citizen journalism).
Citizen journalism memberikan
kesempatan pada seluruh elemen masyarakat termasuk pembaca untuk bisa turut
berperan aktif dalam memberitakan suatu peristiwa, dengan memanfaatkan media
digital yang bebas akses dan biaya. Namun sayangnya hal tersebut malah
menyebabkan degradasi kebenaran sebuah fakta. Selama ini media cetak berusaha
memberikan fakta – fakta yang telah diverifikasi dengan baik melalui redaktur.
Artinya ruang redaksi sangat berpengaruh dalam mengawasi pemberitaan.
Sedangkan, dalam era digital dengan
citizen journalism etika – etika dalam pemberitaan maupun verifikasi berita
tidak dilakukan secara sempurna. Para pelaku jurnalisme warga ini dapat
memanfaatkan kebebasan dalam ruang media digital tersebut untuk
menginformasikan suatu fakta pada khalayak, dengan atau tanpa memperhatikan
etika. Bahkan banyak dari para pelaku tersebut tidak memiliki identitas yang
jelas dan atau menyalahgunakan identitas seseorang. Sehingga keakuratan dan
nilai berita menjadi bias serta tidak mampu dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Actually,
there are some characteristics of new media that mentioned by Bill Kovach and
Tom Rosenstiel on their book, Warp Speed America in the Age of Mixed Media. First, a
never ending news cycle makes journalism less complete, in the continuous news
cycle, the media is increasingly oriented toward ferrying allegations rather
than first ferreting out the truth.
Stories often come as piecemeal bits of evidence,
accusation, or speculation to be filled in and sorted out in public as the day
progresses. The initiating charge is quickly aired. Then journalists vamp and
speculate until the response is issued. The demand of keeping up with and
airing the to and fro leaves journalists with less time to take stock and sort
out beforehand what is genuinely significant. Ironically, it means the news is
delivered less completely. This gives the reporting a more chaotic, unsettled,
and even numbing quality. It can make tuning in to the news seem inefficient.
It also makes it more difficult to separate fact from spin, argument, or
innuendo, and makes the culture significantly more susceptible to manipulation.
Second
is, there are no more gatekeepers, digital media marked by a much wider range
of standards of what is publishable and what is not. On one hand, journalism is
richer, more democratic, more innovative, and given the possibility of narrower
targeting of audiences, has the potential of becoming closer to its audience.
On the other hand, the
loss of market share, fragmentation of revenue, and disorientation has meant an
abandonment of professional standards and ethics. Information is moving so
fast, news outlets are caught between trying to gather the information for
citizens and interpreting what others have delivered ahead of them.
Third, Argument is
overwhelming reporting. The argument culture devalues the science of
verification. The information revolution is a prime force behind the rise of
the argument culture. Many of the new media outlets are engaged in commenting
on information rather than gathering it. Internet news and information sites has
placed demands on the press to "have something" to fill the time.
The economics of these
new media, indeed, demand that this product be produced as cheaply as possible.
Commentary, chat, speculation, opinion, argument, controversy, and punditry
cost far less than assembling a team of reporters, producers, fact checkers,
and editors to cover the far-flung corners of the world.
Well,
besides of it we still have to keep the truth of the facts. Whatever of the
situation. So, the answer is belonging to us, we have known
about the situation. And we can’t keep silent for this future media. Digital
media isn’t properly dominating this era and kill print media without
preparation, good quality, and gate keeper. Then, I think it should be harder
for the digital media to aware that they really can’t make the print media just
disappear.
Berkaca pada kenyataan, era cetak
akan tetap memberikan suatu pemahaman yang mencerdaskan pembacanya bukan
menyesatkan pembacanya. Berita – berita yang dimuat pun akan diverifikasi
kebenarannya, bukan secara langsung dimuat dan berdasarkan asumsi – asumsi
semata.
In the end, all the things that have been compared between print and
digital media - should be immediately discontinued. People should be smart not
to forget each the advantages of both media. So, however, the increasing use of
digital media, the people won’t forget that the print media is still there with
their excellence. And both these media are ready to serve the information needs
of them. And question about the death of print media is not important anymore. But
what needs to be done now should be properly with other industries. Every development
and technological progress must be learned, and adapted. Each print media
publishers must adapt and utilize technology, mating with online media, grow
and develop together through creative and innovative steps.
References :
Kovach Bill and Tom Rosenstiel. BLUR : How to Know What's True in the Age of
Information Overload. New York: Bloomsbury USA. 2010.
Kovach Bill and Tom Rosenstiel. Warp Speed: America in
the Age of Mixed Media. New York: Century Foundation Press. 1999.
Siregar Amir Effendi. Akan Matikah Media Cetak?. Harian
Umum KOMPAS
edisi Sabtu, 5 September. 2009.
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2009.
Sholahuddin. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK DI INDUSTRI
MEDIA CETAK DI INDONESIA (Bertahan di Tengah Persaingan
dengan Media Online). BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis. Volume 17. 2013.
Nugraha Pepih. Jangan Paksakan Warga Jadi Wartawan. Jurnal
Dewan Pers. Volume 7. 2013.
Manan Bagir. Persoalan – persoalan Praktek Jurnalisme Warga.
Jurnal Dewan Pers. Volume 7. 2013.
Wikan Asmono. Masa Depan Media Cetak. Jurnal Dewan Pers.
Volume 5. 2011.
Sutrisno Petrus Suryadi. Fenomena Kebangkitan Industri Pers
Daerah/Media Lokal. Jurnal Dewan Pers. Volume 5. 2011.
Dharmasaputra Karaniya. Jurnalisme Online: Asal Seru dan
Saru?. Jurnal Dewan Pers. Volume 4. 2011.
Etika. Berita Dewan Pers. Edisi Desember 2012
mohon izin share
BalasHapusMohon maaf kenala bahasanya campuran ya??jadi agak sedikit gimanaa gitu...tapi ini bacaan bagus!!!
BalasHapus