Langsung ke konten utama

17th September

Simon Weil, Hugo Chavez, sampai Bill Kovach dan Rachel Maddow. Nama – nama itu sejajar dalam posisi sekian banyak orang hebat untuk saya. Tapi secara khusus tidak akan saya bahas mereka atau karya – karya dan pemikiran – pemikirannya, yang sebenarnya sudah sangat banyak dituliskan oleh orang – orang lain yang juga mengagumi mereka.
Tanpa mengurangi sedikitpun pengaruh mereka bagi diri saya dan proses belajar saya, pada malam yang tampak lebih tenang dan gelap ini. Saya akan menceritakan mereka yang lainnya, delapan belas orang yang tidak hanya hadir selintas dalam perjalanan hidup perempuan keras kepala seperti saya. Mereka, delapan belas orang yang saya temukan secara bersamaan dan menyatu dalam satu konsep keluarga dan partner kerja professional.


Dari delapan belas orang itu, ada tiga poros yang saya andaikan mereka sebagai matahari, bulan dan bintang. Poros pertama, sang matahari. Seorang perempuan yang memiliki kebesaran jiwa luar biasa, kemampuan memimpin yang tidak bisa dianggap remeh. Sebagai seorang ketua umum Ais selalu mampu mengakomodir suara – suara kami, menjadi pendengar untuk semua keluhan – keluhan partner dan anggotanya. Meski dalam titik lelah dan penatnya, tidak sekalipun ia membiarkan air matanya turun dan membuat kami semua kehilangan tiang sandaran. Perempuan ini selalu siap menjadi tameng semua kesalahan – kesalahan yang kami buat, memaafkan dan melupakannya begitu saja. Matahari yang selalu menularkan energi dan memberi kehangatan tanpa diminta.
Poros kedua, sang bulan. Dalam sinarnya yang redup dan lembut selalu mampu membuat suasana malam menjadi tenang. Mengusir perlahan kecemasan dan rasa tercekam dalam gelap. Seperti itulah sosok Fara, ketua I yang selalu menjadi pawang masalah dengan ketenangan dan karisma kuatnya. Tanpa kata – kata dan hanya dengan tatapan mata, perempuan ini menunjukkan kesetiaanya pada kami. Pemimpin yang tidak ingin dipuja sinarnya meski semua orang menikmatinya. Hampir di setiap forum ia hanya duduk diam di pojok ruangan, tanpa pernah menguap dan mengeluh bosan. Tak sedikit dari kami yang terkadang geram dan menganggapnya tidak berkontribusi hanya karena ia tidak pernah bersuara. Tapi saya tahu bahwa apa yang kami semua lakukan tidak sebanding dengan semua dedikasi kerjanya dan tidak ia tunjukkan di depan kami.     
Poros ketiga, sang bintang. Laki – laki visioner yang kami panggil webe. Intelektualitas dan jiwa filosofnya membuat ia layaknya bintang yang bersinar terang. Indah, sempurna dan tak tergapai. Sang ketua II yang selalu dengan sengaja menjadi sosok arogan, evil dan pengacau dalam kehangatan keluarga kami. Tapi tanpanya kami mungkin seperti sekawanan bebek yang kehilangan induk. Seringkali ia membuat kami kesal dengan kata – katanya yang tajam, tapi begitulah caranya melecut kami agar tidak menjadi orang lemah bagi mimpi – mimpi kami sendiri. Jujur, semua mimpi – mimpi ‘sederhana’ saya ada padanya. Menjadi seorang yang dewasa, bijak, dan idealis.
Lima belas orang yang lainnya menyebarkan masing masing kekuatannya untuk saya. Galih dan cia dengan kecerdasan murninya, mereka yang menyindir saya dengan segudang prestasi. Membuat saya tidak pernah berkeinginan untuk berhenti membaca. Di saat saya sibuk merutuki puncak ritme berproses dan belajar, mereka berdua melesat jauh mengikuti lomba ini dan itu lalu menjadi juara. Ika, perfeksionis yang terlampau rumit untuk dimengerti, lewat dia saya mengerti untuk tidak melewatkan sesuatu yang bisa jadi penting dan berpengaruh bagi kita.
Fauzi, seseorang yang menularkan kemampuan beradaptasi. Hikmah, yang selalu membantu saya bersikap tegas dalam menentukan keputusan. Sobah, yang hebat dengan pemikiran analitisnya. Jujuk, orang paling prinsipil. Nuril, si tangguh dan paling berani. Yona yang tenang di setiap suasana. Tyas, ratu pengendalian diri nomor satu. Fahrul si laki – laki sederhana dan penuh tanggung jawab. Nying – nying dengan kesetiaannya berproses. Salma, salah satu partner diskusi paling asik yang secara tidak langsung mengajak saya untuk tidak selalu tenggelam di dunia sendiri. Roni, lelaki dengan pemikiran idealis lainnya yang tidak kalah hebat dengan webe. Dan Muna, seorang terakhir yang harusnya saya tulis di atas Ais-sang matahari, jika menurut struktural organisasi. Ia yang selalu memberikan kepedulian tulus.    

             Untuk mereka yang ada untuk saya, 
yang sudi berbagi mimpi – mimpi bersama.
                Dari orang yang hilang.

Selamat tanggal 17 September.

Komentar

  1. Andai waktu akan kembali. Ingin ku ulang kisah ini. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan lah mak, kita buat kisah baru yang lebih indaaahhhhhh. hahahaha. realisasi dari mimpi - mimpi kita.

      Hapus
  2. Aku baru baca catatan ini, mbak zur'ah kangen hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNALIS; ANTARA MESIN DAN MALAIKAT

Di tengah kegamangan berproses menemukan ritme sebagai pewarta, saya dibawa bertemu dengan seseorang sore itu. Salah satu jurnalis di sebuah media swasta yang berakusisi dengan media Amerika, CNN. Tidak disangka – sangka pertemuan yang awalnya dijadwalkan untuk memenuhi tugas mata kuliah etika jurnalistik, berbuah menjadi satu titik penegasan bagi saya untuk tidak berhenti dan meninggalkan proses belajar sebagai seorang insan pers. Jungkir balik liputan demi liputan yang saya lalui selama ini memberikan pemahaman praktis bahwa basic menjadi seorang jurnalis memang skeptic dan curiosity, tapi laku seorang jurnalis dalam menyajikan berita tidak cukup itu. Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, jurnalis punya etik – etik tertentu untuk melindungi hak – hak publik. Itu yang seringkali masih banyak diabaikan oleh jurnalis negeri ini. Untuk itu, di tempat saya ditempa, mata kuliah etika jurnalistik menjadi satu keharusan dipahami dan diaplikasikan, demi

Dihempaskan Waktu

Baru kemarin rasanya, saya berada pada momentum mengenakan toga, membawa bunga - bunga, tersenyum dan memeluk teman - teman. Lalu sore kemarin, di dua hari setelah perayaan tujuh belasan. Saya kembali hadir menikmati euforia wisuda milik beberapa teman. Eh, rupanya setelah diingat - ingat saya juga sudah sempat hadir di wisuda periode sebelumnya. Jadi karena saya tidak sengaja menjadi golongan orang - orang yang terburu - buru lulus, maka saya dan beberapa orang tidak bisa bersama - sama diwisuda dengan sesama angkatan. Sepertinya sudah begitu adanya kehidupan perkuliahan, masuk sama - sama tetapi belum tentu keluar pun sama - sama. Intinya, seangkatan itu wisudanya tersebar ke beberapa periode dalam kurun tahun ini. Sehingga untuk kepedulian dan penghormatan kami menjadi saling mengunjungi momen pelepasan, hal ini juga sebenarnya diharapkan, bisa jadi semacam usaha memelihara rasa kedekatan dengan sesama angkatan, sekalipun tidak diwisuda bareng.  Sudah dua kali saya menjadi pengu