Simon
Weil, Hugo Chavez, sampai Bill Kovach dan Rachel Maddow. Nama – nama itu
sejajar dalam posisi sekian banyak orang hebat untuk saya. Tapi secara khusus
tidak akan saya bahas mereka atau karya – karya dan pemikiran – pemikirannya, yang
sebenarnya sudah sangat banyak dituliskan oleh orang – orang lain yang juga
mengagumi mereka.
Tanpa
mengurangi sedikitpun pengaruh mereka bagi diri saya dan proses belajar saya, pada malam
yang tampak lebih tenang dan gelap ini. Saya akan menceritakan mereka yang
lainnya, delapan belas orang yang tidak hanya hadir selintas dalam perjalanan
hidup perempuan keras kepala seperti saya. Mereka, delapan belas orang yang saya temukan secara bersamaan dan menyatu dalam satu konsep keluarga dan partner
kerja professional.
Dari
delapan belas orang itu, ada tiga poros yang saya andaikan mereka sebagai matahari,
bulan dan bintang. Poros pertama, sang matahari. Seorang perempuan yang memiliki
kebesaran jiwa luar biasa, kemampuan memimpin yang tidak bisa dianggap remeh.
Sebagai seorang ketua umum Ais selalu mampu mengakomodir suara – suara kami,
menjadi pendengar untuk semua keluhan – keluhan partner dan anggotanya. Meski
dalam titik lelah dan penatnya, tidak sekalipun ia membiarkan air matanya turun
dan membuat kami semua kehilangan tiang sandaran. Perempuan ini selalu siap
menjadi tameng semua kesalahan – kesalahan yang kami buat, memaafkan dan
melupakannya begitu saja. Matahari yang selalu menularkan energi dan memberi
kehangatan tanpa diminta.
Poros
kedua, sang bulan. Dalam sinarnya yang redup dan lembut selalu mampu membuat suasana
malam menjadi tenang. Mengusir perlahan kecemasan dan rasa tercekam dalam
gelap. Seperti itulah sosok Fara, ketua I yang selalu menjadi pawang masalah
dengan ketenangan dan karisma kuatnya. Tanpa kata – kata dan hanya dengan
tatapan mata, perempuan ini menunjukkan kesetiaanya pada kami. Pemimpin yang
tidak ingin dipuja sinarnya meski semua orang menikmatinya. Hampir di setiap
forum ia hanya duduk diam di pojok ruangan, tanpa pernah menguap dan mengeluh
bosan. Tak sedikit dari kami yang terkadang geram dan menganggapnya tidak
berkontribusi hanya karena ia tidak pernah bersuara. Tapi saya tahu bahwa apa
yang kami semua lakukan tidak sebanding dengan semua dedikasi kerjanya dan tidak
ia tunjukkan di depan kami.
Poros
ketiga, sang bintang. Laki – laki visioner yang kami panggil webe. Intelektualitas
dan jiwa filosofnya membuat ia layaknya bintang yang bersinar terang. Indah,
sempurna dan tak tergapai. Sang ketua II yang selalu dengan sengaja menjadi sosok
arogan, evil dan pengacau dalam kehangatan keluarga kami. Tapi tanpanya kami mungkin
seperti sekawanan bebek yang kehilangan induk. Seringkali ia membuat kami kesal
dengan kata – katanya yang tajam, tapi begitulah caranya melecut kami agar
tidak menjadi orang lemah bagi mimpi – mimpi kami sendiri. Jujur, semua mimpi –
mimpi ‘sederhana’ saya ada padanya. Menjadi seorang yang dewasa, bijak, dan
idealis.
Lima
belas orang yang lainnya menyebarkan masing masing kekuatannya untuk saya. Galih
dan cia dengan kecerdasan murninya, mereka yang menyindir saya dengan segudang
prestasi. Membuat saya tidak pernah berkeinginan untuk berhenti membaca. Di saat saya sibuk merutuki puncak ritme berproses dan belajar, mereka berdua melesat
jauh mengikuti lomba ini dan itu lalu menjadi juara. Ika, perfeksionis yang
terlampau rumit untuk dimengerti, lewat dia saya mengerti untuk tidak melewatkan
sesuatu yang bisa jadi penting dan berpengaruh bagi kita.
Fauzi,
seseorang yang menularkan kemampuan beradaptasi. Hikmah, yang selalu membantu saya
bersikap tegas dalam menentukan keputusan. Sobah, yang hebat dengan pemikiran analitisnya. Jujuk, orang paling prinsipil. Nuril,
si tangguh dan paling berani. Yona yang tenang di setiap suasana. Tyas, ratu
pengendalian diri nomor satu. Fahrul si laki – laki sederhana dan penuh
tanggung jawab. Nying – nying dengan kesetiaannya berproses. Salma, salah satu
partner diskusi paling asik yang secara tidak langsung mengajak saya untuk tidak
selalu tenggelam di dunia sendiri. Roni, lelaki dengan pemikiran idealis
lainnya yang tidak kalah hebat dengan webe. Dan Muna, seorang terakhir yang
harusnya saya tulis di atas Ais-sang matahari, jika menurut struktural organisasi.
Ia yang selalu memberikan kepedulian tulus.
yang sudi berbagi
mimpi – mimpi bersama.
Dari orang yang hilang.
Selamat tanggal 17 September.
Andai waktu akan kembali. Ingin ku ulang kisah ini. :))
BalasHapusjangan lah mak, kita buat kisah baru yang lebih indaaahhhhhh. hahahaha. realisasi dari mimpi - mimpi kita.
HapusAku baru baca catatan ini, mbak zur'ah kangen hehehe
BalasHapus