Sore dan
sinar senja yang hangat adalah latar bagaimana karir magang saya sebagai
wartawan harian pagi berakhir indah, dan damai. Saya punya tiga orang partner
kerja yang luar biasa. Dua mentor khusus yang meski dalam pengajarannya sungguh
bertolak belakang, tapi sangat berkontribusi mempertegas ritme kerja wartawan
yang harus saya pahami dan lakoni.
Masih
terputar jelas dalam ingatan, sore – sore pertama kali kami datang di kantor
redaksi. Pimpinan umumnya perempuan, cerdas, ramah, tidak suka basa – basi.
Keesokan harinya kami segera diperkenalkan dengan pimpinan redaksi, redaktur,
dan manajer ekonomi bisnis. Perkenalan khas orang – orang media, ringkas. Sebab
setelahnya yang lebih penting. Pengaturan desk kerja, saya dan dua orang
lainnya diletakkan pada posisi reporter untuk area liputan kota dan
pemerintahan serta ekonomi bisnis. Sementara seorang lain ditempatkan sebagai
pengelola naskah berita online.
Di kursi
sofa panjang berwarna biru, kami berempat duduk saling pandang, sebagai anak
magang yang tegang dan takut menghadapi kebenaran ganasnya dunia media
sebenarnya. Saat itu jujur saja saya sedikit gentar, membayangkan bekerja
secara individu dan professional mencari berita. Tapi pimred dan redaktur koran
ini tidak sekalipun menyangsikan kami, sekalipun kami berempat perempuan,
berjilbab, serta memasang wajah cupu. Mereka semua menerima kami, percaya dan
mengharapkan effort sebagai wartawan sesungguhnya. Intinya sejak kami
datang, kami dianggap bukan anak magang.
Briefing
perdana itu segera berlanjut dengan rapat redaksi. Kami kira tidak selayaknya
anak magang ikut dalam perdebatan penentuan berita dan laporan perkembangan
kasus liputan. Tapi rupanya, pimred dan redaktur menahan kami untuk tetap
tinggal dan memerhatikan. Untuk pertama kali saya menyadari proses belajar saya
menjadi wartawan sangat jauh ketinggalan. Mengambil konsentrasi kuliah
jurnalistik ditambah tujuh semester bergabung di pers mahasiswa, sama sekali
tidak membantu saya bisa mengikuti obrolan ringan pada rapat redaksi sore itu. Pada
akhirnya kami berempat cuma membatu menyaksikan redaktur dan pimred itu sangat
ambisius mengorek data. Laporan perkembangan liputan yang disampaikan para
wartawannya terus – terusan dibantah dan dikatai dangkal, kurang dalam.
Mengkeretlah
kami seusai rapat redaksi itu bubar. Padahal keesokan hari saya dan seorang
teman yang ditempatkan di bagian kota pemerintahan sudah harus mulai setor
berita. Sedang dua orang teman lain baru memulai kerja lusanya. Sepanjang
pulang kantor, saya melamun dan mengonstruksi pikiran buruk, kalau – kalau liputan
saya nanti tidak memuaskan. Akan diapakan saya?
Esok pagi,
hari pertama liputan, akhirnya membuahkan berita Demo. Sebelum deadline jam
lima sore, kami sudah merampungkan tulisan berita pertama itu pukul sebelas
siang. Sambil menunggu berita terkirim, kami mikir untuk angle berita lainnya.
Jadi, sebenarnya kami diminta untuk menggarap dua sampai tiga berita sehari.
Sifatnya bukan paksaan, tapi paling tidak sehari harus ada satu berita yang
dikirim ke email redaksi, biar tidak kena sindiran maut pimred dan redaktur.
Sudah ada
angle yang dikantongi, tapi tiba – tiba hape bergetar dan notifikasi chat dari
pimred muncul. Dia mau kami liputan features sentra pedagang kaki lima di Uripsumoharjo.
Perubahan rencana dadakan, akhirnya angle berita yang sudah tersusun tersebut
harus ditunda. Meluncurlah kami ke lokasi. Sepi. Itu kenapa kami suruh liputan
ke sini. Pasti itu pikiran pimred. Kami akhirnya menuliskan kritik terkait
lokasi. Berita disetor dan dievaluasi tepat deadline. Jam lima sore adalah saat
– saat setor muka di kantor. Tapi rupanya kami juga perlu tahu, tak jarang para
wartawan telat kembali karena masih di lapangan. Termasuk pimred dan redaktur
yang masih asik ikut terjun langsung ke lapangan. Akhirnya kami berdua cuma
duduk – duduk tegang di kantor redaksi yang masih sepi sekali.
Hari
berganti, pagi kedua masih dengan semangat menikmati kerja liputan. Kami
sengaja datang ke kantor, padahal jadwal setor muka untuk desk kota,
pemerintahan, hukum dan kriminal itu sore hari. Tapi itu menjadi pagi terindah
sepanjang karier magang, sebab berita kami termuat di halaman depan koran.
Tulisan features tentang sentra pedagang kaki lima itu. Otak saya bernyanyi
sepanjang hari, ternyata pikiran buruk yang sempat terlintas tidak terbukti,
setidaknya belum terbukti.
Kantor media
dan para penghuninya dalam kenyataannya tetap menghadirkan kesan tegas dan
seram itu. Sekalipun beberapa berita liputan saya termuat, tapi rasa – rasanya tidak
akan terhindar dari sindiran maut maupun kritikan pedas redaktur. Kalau pimred,
cukup dengan menegur tegas saat berita telat deadline meski hanya sepuluh
menit. Begitulah tiga puluh hari terlibat sebagai pencari berita bagi media
cetak. Seharian berkendara dari satu lokasi ke lokasi lain, tersesat, menemui
narasumber yang ramah atau galak untuk diwawancara, kepanasan, kehujanan,
terjebak macet, terlambat makan siang padahal tidak sarapan. Belum lagi jika
narasumber tidak bisa ditemui sementara berita harus ada sore harinya, hingga
harus diputuskan ganti angle. Otak terus mikir tentang fakta dan kasus
terhangat serta terpenting, tentang angle menarik yang tidak terpikir media
lain, tentang menuliskan berita dengan kesalahan seminimal mungkin, dan tentang
– tentang lainnya.
Lantas,
inilah yang pasti akan kami berempat rindukan. Suasana redaksi industri media,
bukan hanya media alternatif persma. Sebab dari magang ini kami semua jadi
belajar. Tak cukup jadi wartawan yang idealis, karena jika telah bergabung
dalam industri media, wartawan itu harus bisa mengikuti standar idelogi media
tertentu. Menghasilkan berita yang bukan hanya membangun perubahan dan kritik
terhadap kondisi sosial pemerintahan, melainkan yang juga bisa menaikkan tiras
pembaca serta jumlah pemasang iklan. Ini sudah bicara soal ekonomi dan politik
media.
Ribet
memang. Lebih enak dan segar mengenang pengalaman liputan – liputan seru. Mulai
dari meliput stasiun kota tertua Surabaya, wisata pelabuhan, museum Wr.
Supratman, sampai kampung pecinan. Sekalipun
magang berakhir tapi karier jurnalis saya tetap berjalan. Dan semoga tetap
stabil sebab saat ini, saya sedang merasakan yang namanya kenikmatan paradoksal
sebagai wartawan. Mulai nyaman dengan ritme kerja liputan tapi juga pusing
dengan tekanan – tekanannya.
mana mbak kiki? ayo komen...
BalasHapuskiki dintunggu tulisannya,,,,
mana mbak kiki? ayo komen...
BalasHapuskiki dintunggu tulisannya,,,,