Tanpa
kesempurnaan naskah ini bisa terlahir,
Kalimat itu
menjadi penanda dan saya letakkan di halaman pembuka Novel SEMU, novel pertama
yang saya terbitkan. Seperti maknanya secara tekstual, saya ingin mencitrakan
bahwa untuk menghasilkan sesuatu, kita tidak selalu butuh sederet konsepsi
rumit dan indah, atau hal – hal yang lebih mengotakkan kesempurnaan. Secara
pribadi, saya memang tidak memungkiri pernah ada di titik dimana saya lebih
banyak menghabiskan hari dengan menulis rencana, rencana, dan rencana. Atau
target, tujuan, target, tujuan. Tulisan – tulisan yang tidak membawa saya
melangkah kemanapun.
Sampai pada
akhirnya, saya berhenti dan merubah kebiasaan di masa lalu. Sesederhana itu,
saya merasa melakukan apa yang pernah dituliskan Paulo Coelho di salah satu bukunya.
Kurang lebih seperti ini yang saya pahami;
“Sangat
penting untuk membiarkan hal - hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan.
Orang perlu mengerti bahwa hidup ini tidak pasti; kadang - kadang kita menang,
kadang - kadang kita kalah. Jangan harapkan kejeniusanmu dikenal orang atau
cintamu dimengerti. Tutup lingkarannya. Bukan karena gengsi, ketidakmampuan,
atau arogansi. Tapi karena apapun hal itu sudah tak sesuai lagi dengan hidupmu.
Tutup pintu, hapus catatan, bersihkan rumah, buang debu. Berhentilah menjadi
dirimu yang dulu dan jadilah dirimu sekarang.”
Kedalaman
kalimat tersebut, berhasil menyeret diri saya yang linglung untuk lebih tegas
menjalani hidup. Berdiri di tengah kegamangan idealisme dan realitas lingkungan
yang begitu materialis, saya perlu beberapa waktu untuk menyesuaikan. Hingga
puncaknya, ada pada Novel SEMU, sebuah kritik yang dihasilkan dari proses
memahami dinamika hidup yang saya alami.
Agar tidak
menjadi naif mengidentifikasi diri sebagai sosok yang idealis, maka saya akan
bercerita saja kisah di balik kisah yang saya terbitkan tersebut.
1. Untuk pertama kali, saya berusaha mematahkan
stigma yang berkecamuk dalam kepala sendiri, jika orang idealis bukan cuma suka
berjibaku dengan rancangan yang tidak praksis.
2. Saya menulis di tengah – tengah kemalasan
yang wajar, rutinitas membosankan, dan hari – hari yang terlalu menyenangkan
untuk dilewati hanya di depan laptop. Pada awal memulai, saya bisa sangat
bersemangat menulis berhalaman – halaman. Tapi tak jarang, saya butuh waktu
yang begitu panjang untuk mengetik satu kalimat, lalu menghapusnya lagi.
3. Sejak saya tidak mengerti, mengapa orang
– orang begitu menyukai duniawi; uang, gaya, pasangan, kehormatan dan
semacamnya. Saya membuat benteng dengan menghadirkan sesuatu yang saya harap, bisa
memberi posisi yang sesuai di akhirat nanti. Ketika saya menulis Novel SEMU,
saya sangat amat tidak peduli akan pembaca buku ini, akan keuntungan –
keuntungan duniawi yang biasanya selalu diburu oleh kebanyakan orang setiap
melakukan proses berkarya.
4. Saya menulis dengan menikmati setiap
prosesnya, termasuk proses melamun dan tidur yang lebih banyak mengiringi.
5. Bagian yang cukup menyenangkan dari
menerbitkan novel sendiri adalah, tidak perlu merasa tertekan dengan deadline,
walau memang masih harus sedikit patuh pada komitmen. Berkarya semerdeka
mungkin, tanpa khawatir tulisan saya akan disukai atau tidak, tulisan saya
bagus atau tidak, tulisan saya laku atau tidak.
6. Mempelajari beberapa referensi yang
berupa catatan atau dokumentasi video, untuk menegaskan bahwa yang saya lakukan
ini adalah satu bentuk pembelajaran. Serta yang terpenting, menekan arogansi
untuk menjadi satu – satunya orang yang tahu, maka saya menuliskannya, tentang
sedikit hal yang saya tahu tanpa bermaksud sok tahu.
7. Memilih ‘rumah’ untuk karya saya, dalam
hal ini berarti penerbit yang tepat dan sesuai. Keuntungan dari menjadi subjek
yang bisa memilih dan memutuskan sendiri, yakni bebas dari intervensi. Saya
tidak merasa khawatir atau takut pada konsekuensi apapun, saat novel saya
terbit secara independen, dan saya biayai sendiri.
8. Hampir melakukan semua prosesnya sendiri,
mulai dari menulis, mengedit kasar, memilih penerbit, melayout, dan mendesain
covernya. Hal – hal lain tentu saja dibantu oleh beberapa pihak seperti, proofreading atau editing menyeluruh
yang dilakukan penerbit, dan persiapan launching buku yang didukung beberapa
teman.
9. Saya memilih untuk mengenalkan buku saya,
dengan membuat lebih banyak lagi proyek diskusi Novel SEMU, atau hal – hal yang
bisa mendorong banyak orang untuk semangat membaca. Daripada saya repot
membranding diri habis – habisan sebagai seorang pengarang atau sastrawan. Tidak
perlu orang – orang mengenal diri saya. Lebih baik mereka mengenal karya saya.
10. Ketagihan menulis buku saat Novel SEMU
selesai dirilis.
-Zur’ah Budi Penuh Arti
Idolaaaa 💕💕💕
BalasHapus