Langsung ke konten utama

Kisah di Balik Kisah yang Diterbitkan



 
Tanpa kesempurnaan naskah ini bisa terlahir,

Kalimat itu menjadi penanda dan saya letakkan di halaman pembuka Novel SEMU, novel pertama yang saya terbitkan. Seperti maknanya secara tekstual, saya ingin mencitrakan bahwa untuk menghasilkan sesuatu, kita tidak selalu butuh sederet konsepsi rumit dan indah, atau hal – hal yang lebih mengotakkan kesempurnaan. Secara pribadi, saya memang tidak memungkiri pernah ada di titik dimana saya lebih banyak menghabiskan hari dengan menulis rencana, rencana, dan rencana. Atau target, tujuan, target, tujuan. Tulisan – tulisan yang tidak membawa saya melangkah kemanapun.
Sampai pada akhirnya, saya berhenti dan merubah kebiasaan di masa lalu. Sesederhana itu, saya merasa melakukan apa yang pernah dituliskan Paulo Coelho di salah satu bukunya. Kurang lebih seperti ini yang saya pahami;

“Sangat penting untuk membiarkan hal - hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan. Orang perlu mengerti bahwa hidup ini tidak pasti; kadang - kadang kita menang, kadang - kadang kita kalah. Jangan harapkan kejeniusanmu dikenal orang atau cintamu dimengerti. Tutup lingkarannya. Bukan karena gengsi, ketidakmampuan, atau arogansi. Tapi karena apapun hal itu sudah tak sesuai lagi dengan hidupmu. Tutup pintu, hapus catatan, bersihkan rumah, buang debu. Berhentilah menjadi dirimu yang dulu dan jadilah dirimu sekarang.”
(pernah ada di tulisan lama saya, http://zurahsukasuka.blogspot.co.id/2015/12/born.html)

Kedalaman kalimat tersebut, berhasil menyeret diri saya yang linglung untuk lebih tegas menjalani hidup. Berdiri di tengah kegamangan idealisme dan realitas lingkungan yang begitu materialis, saya perlu beberapa waktu untuk menyesuaikan. Hingga puncaknya, ada pada Novel SEMU, sebuah kritik yang dihasilkan dari proses memahami dinamika hidup yang saya alami.  

Agar tidak menjadi naif mengidentifikasi diri sebagai sosok yang idealis, maka saya akan bercerita saja kisah di balik kisah yang saya terbitkan tersebut.





1.       Untuk pertama kali, saya berusaha mematahkan stigma yang berkecamuk dalam kepala sendiri, jika orang idealis bukan cuma suka berjibaku dengan rancangan yang tidak praksis.
2.      Saya menulis di tengah – tengah kemalasan yang wajar, rutinitas membosankan, dan hari – hari yang terlalu menyenangkan untuk dilewati hanya di depan laptop. Pada awal memulai, saya bisa sangat bersemangat menulis berhalaman – halaman. Tapi tak jarang, saya butuh waktu yang begitu panjang untuk mengetik satu kalimat, lalu menghapusnya lagi.
3.      Sejak saya tidak mengerti, mengapa orang – orang begitu menyukai duniawi; uang, gaya, pasangan, kehormatan dan semacamnya. Saya membuat benteng dengan menghadirkan sesuatu yang saya harap, bisa memberi posisi yang sesuai di akhirat nanti. Ketika saya menulis Novel SEMU, saya sangat amat tidak peduli akan pembaca buku ini, akan keuntungan – keuntungan duniawi yang biasanya selalu diburu oleh kebanyakan orang setiap melakukan proses berkarya.
4.      Saya menulis dengan menikmati setiap prosesnya, termasuk proses melamun dan tidur yang lebih banyak mengiringi.
5.      Bagian yang cukup menyenangkan dari menerbitkan novel sendiri adalah, tidak perlu merasa tertekan dengan deadline, walau memang masih harus sedikit patuh pada komitmen. Berkarya semerdeka mungkin, tanpa khawatir tulisan saya akan disukai atau tidak, tulisan saya bagus atau tidak, tulisan saya laku atau tidak.
6.      Mempelajari beberapa referensi yang berupa catatan atau dokumentasi video, untuk menegaskan bahwa yang saya lakukan ini adalah satu bentuk pembelajaran. Serta yang terpenting, menekan arogansi untuk menjadi satu – satunya orang yang tahu, maka saya menuliskannya, tentang sedikit hal yang saya tahu tanpa bermaksud sok tahu.
7.      Memilih ‘rumah’ untuk karya saya, dalam hal ini berarti penerbit yang tepat dan sesuai. Keuntungan dari menjadi subjek yang bisa memilih dan memutuskan sendiri, yakni bebas dari intervensi. Saya tidak merasa khawatir atau takut pada konsekuensi apapun, saat novel saya terbit secara independen, dan saya biayai sendiri.
8.      Hampir melakukan semua prosesnya sendiri, mulai dari menulis, mengedit kasar, memilih penerbit, melayout, dan mendesain covernya. Hal – hal lain tentu saja dibantu oleh beberapa pihak seperti, proofreading atau editing menyeluruh yang dilakukan penerbit, dan persiapan launching buku yang didukung beberapa teman.
9.      Saya memilih untuk mengenalkan buku saya, dengan membuat lebih banyak lagi proyek diskusi Novel SEMU, atau hal – hal yang bisa mendorong banyak orang untuk semangat membaca. Daripada saya repot membranding diri habis – habisan sebagai seorang pengarang atau sastrawan. Tidak perlu orang – orang mengenal diri saya. Lebih baik mereka mengenal karya saya.
10.   Ketagihan menulis buku saat Novel SEMU selesai dirilis.


                                                Dari orang yang selalu ingin bermanfaat, 
                                                -Zur’ah Budi Penuh Arti


 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

17th September

Simon Weil, Hugo Chavez, sampai Bill Kovach dan Rachel Maddow. Nama – nama itu sejajar dalam posisi sekian banyak orang hebat untuk saya. Tapi secara khusus tidak akan saya bahas mereka atau karya – karya dan pemikiran – pemikirannya, yang sebenarnya sudah sangat banyak dituliskan oleh orang – orang lain yang juga mengagumi mereka. Tanpa mengurangi sedikitpun pengaruh mereka bagi diri saya dan proses belajar saya, pada malam yang tampak lebih tenang dan gelap ini. Saya akan menceritakan mereka yang lainnya, delapan belas orang yang tidak hanya hadir selintas dalam perjalanan hidup perempuan keras kepala seperti saya. Mereka, delapan belas orang yang saya temukan secara bersamaan dan menyatu dalam satu konsep keluarga dan partner kerja professional. Dari delapan belas orang itu, ada tiga poros yang saya andaikan mereka sebagai matahari, bulan dan bintang. Poros pertama, sang matahari. Seorang perempuan yang memiliki kebesaran jiwa luar biasa, kemampuan memimpin yang tidak bis...

JURNALIS; ANTARA MESIN DAN MALAIKAT

Di tengah kegamangan berproses menemukan ritme sebagai pewarta, saya dibawa bertemu dengan seseorang sore itu. Salah satu jurnalis di sebuah media swasta yang berakusisi dengan media Amerika, CNN. Tidak disangka – sangka pertemuan yang awalnya dijadwalkan untuk memenuhi tugas mata kuliah etika jurnalistik, berbuah menjadi satu titik penegasan bagi saya untuk tidak berhenti dan meninggalkan proses belajar sebagai seorang insan pers. Jungkir balik liputan demi liputan yang saya lalui selama ini memberikan pemahaman praktis bahwa basic menjadi seorang jurnalis memang skeptic dan curiosity, tapi laku seorang jurnalis dalam menyajikan berita tidak cukup itu. Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, jurnalis punya etik – etik tertentu untuk melindungi hak – hak publik. Itu yang seringkali masih banyak diabaikan oleh jurnalis negeri ini. Untuk itu, di tempat saya ditempa, mata kuliah etika jurnalistik menjadi satu keharusan dipahami dan diaplikasikan, demi ...

Dihempaskan Waktu

Baru kemarin rasanya, saya berada pada momentum mengenakan toga, membawa bunga - bunga, tersenyum dan memeluk teman - teman. Lalu sore kemarin, di dua hari setelah perayaan tujuh belasan. Saya kembali hadir menikmati euforia wisuda milik beberapa teman. Eh, rupanya setelah diingat - ingat saya juga sudah sempat hadir di wisuda periode sebelumnya. Jadi karena saya tidak sengaja menjadi golongan orang - orang yang terburu - buru lulus, maka saya dan beberapa orang tidak bisa bersama - sama diwisuda dengan sesama angkatan. Sepertinya sudah begitu adanya kehidupan perkuliahan, masuk sama - sama tetapi belum tentu keluar pun sama - sama. Intinya, seangkatan itu wisudanya tersebar ke beberapa periode dalam kurun tahun ini. Sehingga untuk kepedulian dan penghormatan kami menjadi saling mengunjungi momen pelepasan, hal ini juga sebenarnya diharapkan, bisa jadi semacam usaha memelihara rasa kedekatan dengan sesama angkatan, sekalipun tidak diwisuda bareng.  Sudah dua kali saya menjadi p...