Perkara
seksis dan diskursus feminisme bukan lagi seru diperbincangkan oleh hanya aktivis
gender, atau orang – orang yang membaca Naomi Wolf, Julia Kristeva, bahkan yang cukup sering
didengar masyarakat Indonesia, Ayu Utami. Sejak beberapa public figur turut serta membawa isu ini, baik ke dalam karyanya
juga sisi kehidupannya, gagasan feminisme menjadi lebih banyak dikenal dan
diperhatikan masyarakat, meski tidak se idealis jika kita membahasnya secara
serius di ruang akademis.
Sebut
saja Emma Watson, Emma Stone, sampai penyanyi lagu All About That Bass yakni Meghan
Trainor, yang kritis untuk membela tubuh perempuan. Mereka yang tumbuh, dan besar
di Industri layar kaca ini, mengampanyekan ide soal tubuh dan kecantikan.
Sesuatu yang sangat diagungkan justru oleh dunia entertainment itu sendiri. Pada akhirnya, hal itu menjadi dualisme
yang menarik dan sangat relevan bagi penonton, atau fans mereka. Bagaimana
tidak? realita kehidupan sosial masyarakat rasanya juga masih menyuguhkan kalimat
basa basi. “Jangan gendut – gendut nanti susah dapat pacar,” ataupun “Kurus
banget sih? cacingan ya?”
Body Shaming yang
berarti segala bentuk tindakan, atau komentar terhadap fisik maupun penampilan tersebut,
secara sadar maupun tidak sadar mendominasi pembicaraan kita, hampir di semua
level pergaulan. Sebagai salah satu bagian dari diskrimasi gender, agaknya hal
ini masih remeh jika disandingkan dengan perkara, sub ordinasi perempuan di
ruang publik seperti pada sektor pendidikan dan lingkungan kerja, maupun beban
kerja ganda bagi seorang perempuan. Tetapi hal ini, tetap berhasil menjadi satu
section yang paling banyak dilakukan.
Hampir semua orang, jika saja mau mengakui, pasti pernah sekali atau dua kali
mempraktikkan body shaming walau
tidak dimaksudkan ke arah situ.
Ya,
karena keremeh temehan hal ini memang disepadankan dengan lelucon atau candaan.
Kerap kita temui dan lakukan itu untuk menyapa teman – teman lama, atau di era baru
seperti sekarang, semakin mudah menemukan body
shaming dalam interaksi – interaksi di media sosial. Misalnya pada pola kerja
satu platform social media yang
mengedepankan foto. Seseorang kerap dengan entengnya menggerakkan jempol untuk
mengetik kalimat yang sifatnya candaan, hiburan, bahkan pujian pada penampilan
atau fisik dalam foto yang diunggah (tentu saja ini yang berkaitan dengan
unggahan foto diri) di kolom komentar.
Sebagian
orang percaya dan menilai hal ini tidak terlalu substansial, hingga seringkali
korban body shaming yang berani protes atau melawan, dianggap terlalu baper menyikapi guyonan. Tapi maukah kita sedikit lebih berhati – hati memilih
konteks pembicaraan saat bercengkrama, dan tidak menjadi pelaku body shaming? Sebab jika berusaha
memahami, kita tentu sepakat bahwa pelaku body
shaming secara tidak langsung turut menurunkan level ketidakpercayaan diri,
menyumbang kestressan pada seseorang bahkan bisa sefatal menyebabkan depresi.
Dua dari tiga selebriti asal
Amerika yang disebutkan sebagai contoh, Meghan Trainor dan Emma Stone berangkat
dari pengalaman pribadi, saat keduanya yang sering wira – wiri di bawah lampu sorot, masih mengalami stigma untuk
ukuran tubuh dan penampilan mereka. Padahal parameter ideal bagi kecantikan dan
proporsional tubuh itu selamanya tidak akan bisa ditemukan. Manusia hanya akan
terus menerus mengatai sesamanya sejak perbedaan itu menjadi keniscayaan. Meghan,
mendapat cibiran dengan bentuk tubuhnya yang oversize, sementara Emma dinilai terlalu kurus dan sering dikira
sakit dengan bentuk tubuh yang dimilikinya.
Masyarakat dari kita kebanyakan terjebak,
dengan gambaran yang dibuat secara seragam oleh pihak – pihak kapitalis, untuk
memudahkan mengontrol dan mengeruk keuntungan dengan memperdayai pemikiran dan
selera. Seperti halnya tubuh dan kecantikan yang terus menerus mengalami
pergeseran tren, bergantung pada dominasi pasar. Industri fashion dan kosmetik adalah alat – alat yang menggerakkan perempuan
untuk bergaya sebatas barbie. Di masa
semua hal terlihat sama ini, kita akan berdiri pada kondisi yang sulit untuk
tampil sebagai diri sendiri.
Salah dua orang yang mencoba menjadi
diri sendiri, dan berarti berbeda dengan entitas lain harus siap untuk di-bully. Bahkan sekelas Emma Stone dan
Meghan Trainor yang sudah pasti memiliki basis pendukung setia, melihat
reputasinya sebagai artis. Mereka berdua tak jarang mendengar ujaran – ujaran
yang ditujukan langsung untuk memperbaiki body
mereka agar terlihat menarik/sama dengan kebanyakan orang. Dan hanya kalimat “We're
shaming each other and we're shaming ourselves, and it sucks." yang
diucapkan Emma Stone untuk mewakili diskursus ini.
Sementara itu, tidak cukup figur
artis mancanegara yang berani mengambil sikap untuk melawan arus. Publik
Indonesia patut mengapresiasi beberapa orang yang dikenal sebagai Social Media Influencer, atau istilah
yang lebih populer menyebut selebgram,
yang berusaha menularkan doktrin positif pada netizen untuk berani tampil sebagai dirinya sendiri. Mereka itu
diantaranya Tiraemon, dan Kemalasari. Dua orang perempuan asal Indonesia ini yang
mewakilkan, bahwa masih ada kebebasan bagi perempuan untuk bernapas, berpikiran,
bergaya sebagaimana yang ia inginkan. Tanpa harus terkooptasi pada konstruk
sosial yang tercemari tren pasar.
Tinggal melihat seberapa banyak lagi
perempuan di sekitar kita yang berani berkuasa terhadap wacana kuno berupa tubuh
dan kecantikan ini (?)
Komentar
Posting Komentar