Langsung ke konten utama

Dihempaskan Waktu

Baru kemarin rasanya, saya berada pada momentum mengenakan toga, membawa bunga - bunga, tersenyum dan memeluk teman - teman. Lalu sore kemarin, di dua hari setelah perayaan tujuh belasan. Saya kembali hadir menikmati euforia wisuda milik beberapa teman. Eh, rupanya setelah diingat - ingat saya juga sudah sempat hadir di wisuda periode sebelumnya.

Jadi karena saya tidak sengaja menjadi golongan orang - orang yang terburu - buru lulus, maka saya dan beberapa orang tidak bisa bersama - sama diwisuda dengan sesama angkatan. Sepertinya sudah begitu adanya kehidupan perkuliahan, masuk sama - sama tetapi belum tentu keluar pun sama - sama. Intinya, seangkatan itu wisudanya tersebar ke beberapa periode dalam kurun tahun ini. Sehingga untuk kepedulian dan penghormatan kami menjadi saling mengunjungi momen pelepasan, hal ini juga sebenarnya diharapkan, bisa jadi semacam usaha memelihara rasa kedekatan dengan sesama angkatan, sekalipun tidak diwisuda bareng. 

Sudah dua kali saya menjadi pengunjung, dan rasa - rasanya semakin kesini saya menemukan perasaan saya semakin hambar pada lingkaran pertemanan saya. Tentu saja ada yang salah dengan  diri saya, itu yang saya pikirkan dan cermati. Bagaimana saya benar - benar merasa diri saya menjadi asing setelah sekian lama menjalin pertemanan dengan beberapa orang.

Tapi mungkin memang juga sudah waktunya, kita semua mulai siap dan belajar terbiasa dengan kekejaman waktu yang bisa mengikis secara perlahan rasa kenyamanan berinteraksi. Meski tak sepenuhnya pantas saya menyalahkan waktu, tetapi besar karenanya. Karena saya dan teman - teman kuliah tidak lagi menghabiskan waktu bersama. Hal ini pulalah yang saya dan sebagian orang alami, merasa ada missing link saat mengalami beberapa kelulusan dan perpisahan. Pisah dengan teman TK, SD, SMP, SMA, and then Kuliah.

Eliminasi alami yang dilakukan waktu, sungguh benar - benar efektif dan terbukti menyeramkan. Anggaplah dari ratusan orang yang pernah dekat dengan kita, bertukar kata dan tawa, yang tersisa dalam ingatan, dan pertemuan kembali hanya berkisar puluhan. Hm, lalu saya mulai jadi bingung. Kenapa saya harus bingung membingungkan ini ?   

Ada beberapa hal yang saya alami dan mungkin juga menjadikan saya secanggung ini, menghadapi teman - teman yang bahkan sudah sangat biasa saya ajak nongkrong lama - lama di warung kopi. Apa ya ? mungkin karena, jauh di bawah alam bawah sadar kita as a human, always a future plan. Selalu punya rencana masa depan yang sangat spesial bagi diri kita masing - masing, yang sebenarnya bukan bermaksud menyingkirkan teman - teman kita darinya, tetapi beberapa memang pada akhirnya merasa harus memisahkan diri.

Ataukah kecanggungan saya hanya bersumber dari ketidaknyamanan saya bertemu dengan teman - teman yang, selain sebagai teman juga pernah jadi mantan gebetan, mantannya mantan gebetan, mantan saingan, dan mantan - mantan lainnya. Sungguh norak sekali alasan ini. Saya kok lebih setuju jika semua bentuk kebingungan ini dikarenakan sebuah komunikasi yang tidak saya rawat dengan sempurna, malunya saya sebagai lulusan komunikasi.

Jadi saya akan berhenti menyalahkan sang waktu,
dan.
.
.
.
mulai memperbaiki hubungan dengan komunikasi dan waktu - waktu ke depan. 
       

 Agustus,20
 Orang yang masih bingung...

Btw, thank you to the duos. Orang - orang yang menerima saya seperti ini. Tidak pernah asing bagi saya, dan saya tidak pernah asing bagi mereka. Semoga dengan teman - teman yang lain keterasingan dan kecanggungan saya itu bisa sembuh. hahaha






Komentar

  1. Tidak menyalahkan diri sendiri, orang lain maupun keadaan adalah cara paling bijaksana untuk berdamai dengan kenyataan.

    BalasHapus
  2. Weee.. iku tips mu luar biasahhh.

    BalasHapus
  3. I've been read your articles, and I relize that time has change we're both. Miss the way we learn together, our process, our "receh" discussion. Now I'm not knowing my self. Bener2 sadar kalau aku berubah setelah baca tulisan2mu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Magang dan Kenikmatan Paradoksal Wartawan

Sore dan sinar senja yang hangat adalah latar bagaimana karir magang saya sebagai wartawan harian pagi berakhir indah, dan damai. Saya punya tiga orang partner kerja yang luar biasa. Dua mentor khusus yang meski dalam pengajarannya sungguh bertolak belakang, tapi sangat berkontribusi mempertegas ritme kerja wartawan yang harus saya pahami dan lakoni. Masih terputar jelas dalam ingatan, sore – sore pertama kali kami datang di kantor redaksi. Pimpinan umumnya perempuan, cerdas, ramah, tidak suka basa – basi. Keesokan harinya kami segera diperkenalkan dengan pimpinan redaksi, redaktur, dan manajer ekonomi bisnis. Perkenalan khas orang – orang media, ringkas. Sebab setelahnya yang lebih penting. Pengaturan desk kerja, saya dan dua orang lainnya diletakkan pada posisi reporter untuk area liputan kota dan pemerintahan serta ekonomi bisnis. Sementara seorang lain ditempatkan sebagai pengelola naskah berita online. Di kursi sofa panjang berwarna biru, kami berempat duduk sal

Kisah di Balik Kisah yang Diterbitkan

  Tanpa kesempurnaan naskah ini bisa terlahir, Kalimat itu menjadi penanda dan saya letakkan di halaman pembuka Novel SEMU, novel pertama yang saya terbitkan. Seperti maknanya secara tekstual, saya ingin mencitrakan bahwa untuk menghasilkan sesuatu, kita tidak selalu butuh sederet konsepsi rumit dan indah, atau hal – hal yang lebih mengotakkan kesempurnaan. Secara pribadi, saya memang tidak memungkiri pernah ada di titik dimana saya lebih banyak menghabiskan hari dengan menulis rencana, rencana, dan rencana. Atau target, tujuan, target, tujuan. Tulisan – tulisan yang tidak membawa saya melangkah kemanapun. Sampai pada akhirnya, saya berhenti dan merubah kebiasaan di masa lalu. Sesederhana itu, saya merasa melakukan apa yang pernah dituliskan Paulo Coelho di salah satu bukunya. Kurang lebih seperti ini yang saya pahami; “Sangat penting untuk membiarkan hal - hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan. Orang perlu mengerti bahwa hidup ini tidak pasti; kadang - kadan

JURNALIS; ANTARA MESIN DAN MALAIKAT

Di tengah kegamangan berproses menemukan ritme sebagai pewarta, saya dibawa bertemu dengan seseorang sore itu. Salah satu jurnalis di sebuah media swasta yang berakusisi dengan media Amerika, CNN. Tidak disangka – sangka pertemuan yang awalnya dijadwalkan untuk memenuhi tugas mata kuliah etika jurnalistik, berbuah menjadi satu titik penegasan bagi saya untuk tidak berhenti dan meninggalkan proses belajar sebagai seorang insan pers. Jungkir balik liputan demi liputan yang saya lalui selama ini memberikan pemahaman praktis bahwa basic menjadi seorang jurnalis memang skeptic dan curiosity, tapi laku seorang jurnalis dalam menyajikan berita tidak cukup itu. Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, jurnalis punya etik – etik tertentu untuk melindungi hak – hak publik. Itu yang seringkali masih banyak diabaikan oleh jurnalis negeri ini. Untuk itu, di tempat saya ditempa, mata kuliah etika jurnalistik menjadi satu keharusan dipahami dan diaplikasikan, demi