Perkara seksis dan diskursus feminisme bukan lagi seru diperbincangkan oleh hanya aktivis gender, atau orang – orang yang membaca Naomi Wolf, Julia Kristeva, bahkan yang cukup sering didengar masyarakat Indonesia, Ayu Utami. Sejak beberapa public figur turut serta membawa isu ini, baik ke dalam karyanya juga sisi kehidupannya, gagasan feminisme menjadi lebih banyak dikenal dan diperhatikan masyarakat, meski tidak se idealis jika kita membahasnya secara serius di ruang akademis. Sebut saja Emma Watson, Emma Stone, sampai penyanyi lagu All About That Bass yakni Meghan Trainor, yang kritis untuk membela tubuh perempuan. Mereka yang tumbuh, dan besar di Industri layar kaca ini, mengampanyekan ide soal tubuh dan kecantikan. Sesuatu yang sangat diagungkan justru oleh dunia entertainment itu sendiri. Pada akhirnya, hal itu menjadi dualisme yang menarik dan sangat relevan bagi penonton, atau fans mereka. Bagaimana tidak? realita kehidupan sosial masyarakat rasa
Tanpa kesempurnaan naskah ini bisa terlahir, Kalimat itu menjadi penanda dan saya letakkan di halaman pembuka Novel SEMU, novel pertama yang saya terbitkan. Seperti maknanya secara tekstual, saya ingin mencitrakan bahwa untuk menghasilkan sesuatu, kita tidak selalu butuh sederet konsepsi rumit dan indah, atau hal – hal yang lebih mengotakkan kesempurnaan. Secara pribadi, saya memang tidak memungkiri pernah ada di titik dimana saya lebih banyak menghabiskan hari dengan menulis rencana, rencana, dan rencana. Atau target, tujuan, target, tujuan. Tulisan – tulisan yang tidak membawa saya melangkah kemanapun. Sampai pada akhirnya, saya berhenti dan merubah kebiasaan di masa lalu. Sesederhana itu, saya merasa melakukan apa yang pernah dituliskan Paulo Coelho di salah satu bukunya. Kurang lebih seperti ini yang saya pahami; “Sangat penting untuk membiarkan hal - hal tertentu berlalu. Lepaskan saja. Biarkan. Orang perlu mengerti bahwa hidup ini tidak pasti; kadang - kadan